ujian |
Sukses Ujian!
by Mohammad Fauzil Adhim
Fantastis! Tampaknya ujian nasional memang sangat menarik, sehingga pembicaraan apa pun yang berkait dengan pembelajaran yang sukses, motivasi maupun pengasuhan dikait-kaitkan dengan ujian nasional cenderung diminati dengan penuh entusias. Sebagiannya bukan lagi entusias, tetapi lebih dekat dengan kecemasan tingkat tinggi sehingga sebuah SD di Yogya melenggarakan les tambahan pelajaran dan latihan mengerjakan soal setiap hari hingga jam 20.30 atau 21.00. Proses latihan berat dan melelahkan ini dilakukan demi sebuah tepuk tangan bernama prestasi, tetapi tanpa membangun kompetensi. Ada kemampuan (ability) yang dipersiapkan, tapi bukan kompetensi (competence). Sepintas mirip, tapi keduanya sangat berbeda.
Daya tarik ujian nasional yang begitu dahsyat tidak hanya berlaku untuk Indonesia. Salah satu sebabnya, ada anak yang terlihat biasa saja prestasinya di sekolah, tetapi berhasil mencapai prestasi akademik yang memuaskan di ujian nasional. Sebaliknya, ada anak yang tampaknya memimpin di kelas, tetapi terpuruk di hadapan soal-soal ujian.
Ada apa? David McIlroy tertantang untuk memahami fenomena ini. Sesuai judulnya, Exam Success (Sage Publication, London, 2005), buku setebal 181 halaman ini secara khusus mengkaji tentang keberhasilan anak dalam mengikuti ujian; apa saja yang secara nyata mempengaruhi.
Agar lebih mudah memahami, mari kita perbincangkan secara ringkas faktor-faktor yang menentukan keberhasilan siswa dalam mengikuti ujian nasional:
Kerangka Berpikir yang Positif
“Cara untuk mencapai sebuah pendekatan yang positif dan produktif dalam menghadapi ujian bukanlah dengan menolak realitas, tetapi dengan menerima secara terbuka terhadap problem…,” kata David McIlroy di bagian awal bukunya. Sebelum berbincang tentang berbagai hal yang diperlukan untuk sukses menghadapi ujian, dengan mengabaikan adanya bimbingan belajar dan proses latihan mengerjakan soal yang bersifat terus-menerus, terlebih dulu kita harus memastikan bahwa anak-anak kita –juga guru dan orangtua—memiliki kerangka berpikir yang positif terhadap ujian. Sama realitas yang dihadapi, beda cara pandangnya, akan beda pula dampaknya bagi anak dalam menghadapi ujian nasional.
Berkenaan kerangka berpikir positif ini, ada empat masalah yang perlu kita diskusikan. Pertama, kecemasan menghadapi ujian (test anxiety). Ini masalah pertama yang kerap menyebabkan anak-anak cerdas tak berdaya menghadapi soal ujian yang paling mudah sekalipun. Ibarat kaki, kecemasan menghadapi ujian membuat anak-anak lumpuh tak berdaya. Tetapi pada kadar tertentu, kecemasan bermanfaat meningkatkan gairah dan kesungguhan belajar anak sehingga ujian terasa begitu menantang. Bukan menakutkan. Kecemasan pada tingkat ini justru meningkatkan prestasi siswa (Hembree, 1988).
Ini berarti, guru maupun orangtua bertugas menjaga kadar kecemasan anak agar tidak melebihi ambang batas.
Tetapi bagaimana mungkin guru dan orangtua mampu menjalankan tugas tersebut jika mereka memandang ujian nasional terlalu penting? Sebegitu pentingnya, sampai-sampai mereka sendiri menghadapi kecemasan yang jauh lebih menakutkan dibanding anak-anak.
Kedua, kendali emosi pasca ujian. Setelah ujian usai, atau dalam istilah McIlroy after the horse has bolted, kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali dan mengoreksi kekeliruan yang terjadi selama ujian. Kita juga tidak bisa memperbaiki dan meminta orang lain menambahkan jawaban yang baru teringat sekarang jawabannya, meskipun 100% kita tidak nyotek. Situasi ini jika tidak terkendali akan menimbulkan kekhawatiran dan menjadi pemicu bagi patah semangatnya anak. Lemahnya kendali emosi pasca ujian juga bisa menyebabkan anak kehilangan gairah belajar, mengalami kecemasan yang sangat tinggi atau anjlok sikap optimisnya menghadapi ujian sehingga kehilangan kemampuan puncaknya dalam menghadapi ujian yang tersisa.
Ketiga, umpan balik dari ujian. Masalah ketiga ini umumnya bersumber dari guru!! Sangat sering terjadi, guru tidak memberi umpan balik sama sekali terhadap ulangan harian maupun ujian semester. Paling-paling guru hanya membahas soal yang diujikan. Atau yang sedikit lebih baik, guru memberi umpan balik secara umum. Tetapi tidak memberi umpan balik yang bersifat personal.
Apa pengaruhnya? Tidak adanya umpan balik menyebabkan kita kehilangan kesempatan untuk:
1. Mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang paling sering terjadi pada dirinya ketika menghadapi ujian.
2. Mengembangkan ujian diagnosis untuk melacak kelemahan anak.
3. Memberi perhatian pada strategi ujian yang efektif untuk membantu mengambil tindakan yang tepat sebelum ujian.
4. Guru dan orangtua kehilangan kesempatan menyiapkan latihan (exercises) yang merangsang anak belajar lebih cerdas dan lebih serius. Jika ini mampu kita lakukan, latihan yang bersifat drilling tidak diperlukan lagi. Seharusnya demikian.
Keempat, merasa terisolasi. Ketika anak sedang menghadapi ujian, kerapkali mereka merasa sendiri dan terisolasi. Ini menimbulkan perasaan tidak nyaman, sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan kemampuannya dalam menyelesaikan soal-soal yang ada di hadapannya.
Merupakan tugas guru maupun orangtua untuk menyiapkan mental anak agar mereka merasa nyaman dengan ujian. Meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri, ada orangtua yang mendukung mereka secara tulus dan menerima apa adanya, ada sekian banyak teman yang mengharapkan kesuksesannya, dan ada masa depan yang menanti untuk sebuah kesempatan belajar yang lebih baik, serta berbagai aspek mental lain sangat bermanfaat bagi anak dalam meraih sukses. Dan ini sebaiknya kita berikan jauh sebelum mereka ujian. Jika persiapan mental kita berikan secara terpadu dengan proses pembelajaran di sekolah selama bertahun-tahun, maka ujian nasional seharusnya merupakan pesta kecil yang dinanti. Bukan bencana besar yang mengerikan.
***
Kalau kita perhatikan, empat masalah tersebut semuanya berkait dengan sikap mental. Ini berarti bahwa penyiapan mental anak menghadapi ujian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka. Kesiapan mental juga mempengaruhi gairah belajar dan tingkat kesungguhan dalam berusaha.
Secara sederhana, kita bisa memacu munculnya sikap mental positif secara cepat melalui berbagai program instant. Tetapi ini cukup melelahkan dan beresiko. Sikap mental positif yang melejit secara cepat akan beresiko menyebabkan mereka secara mental juga akan terhempas sampai pada titik nadir tatkala mereka gagal meraih target yang diimpikan. Selain itu, mereka juga cenderung kurang siap menghadapi situasi yang mengejutkan. Ini sangat berbeda dengan pembentukan sikap mental positif melalui proses edukasi yang bersifat jangka panjang, terstruktur dan terencana.
Nah, mana yang Anda pilih?
Di luar itu, proses yang jauh lebih menentukan adalah kualitas pembelajaran dari kelas 1 sampai dengan kelas kelas 5 (dalam konteks SD, misalnya). Jika sekolah benar-benar mampu membangun dua hal: budaya belajar (learning culture) --bukan sekedar kebiasaan belajar (learning habit)-- dan keterampilan belajar (learning skills), maka ujian (sekolah berstandar) nasional bukan merupakan momok. Tak ada yang perlu ditakuti. Ia justru menjadi semacam alat asesmen untuk menakar seberapa bagus kualitas proses yang berlangsung dari kelas awa hingga kelas akhir. Sekolah yang baik memang tidak menjadikan hasil ujian sebagai tujuan. Tetapi mendidik anak agar menjadi orang baik bukan berarti mewajibkan mereka jadi orang bodoh. Jadi, bukan hal yang bertentangan antara menyiapkan anak didik menjadi insan beriman dengan menempa mereka agar cerdas, terampil dan sigap mengatasi persoalan. Sayangnya, banyak sekolah yang lupa dengan pendidikan yang sebenarnya (the real education), meski jargon indah ini nyaring terdengar.
Nah...