“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
(QS. At-Taubah, 9: 128).
Apakah yang dapat kita harapkan dari guru-guru yang datang ke kelas hanya untuk menerangkan mata pelajaran? Apakah yang dapat kita minta dari para guru yang datang ke kelas hanya berbekal pengetahuan sederhana? Apakah yang dapat kita jaminkan atas anak-anak kita jika guru hanya peduli jam mengajar? Sementara tentang murid-muridnya, ia nyaris mengenali kecuali sekedar nama, wajah dan suaranya saja.
Sungguh, kunci keberhasilan guru bukan terutama terletak pada kompetensi sebagai pengajar, baik kompetensi mengajar maupun kompetensi dalam bidang studi yang ia ajarkan. Sungguh, bukan itu yang paling pokok. Ada yang lebih mendasar lagi, yakni adakah kerisauan besar dalam dirinya yang ia hayati sepenuh hati dan ia perjuangkan dengan sungguh-sungguh. Ia risau atas keadaan anak-anak di zaman ini. Ia menginginkan kebaikan yang besar pada diri muridnya. Dan ia menghabiskan waktunya dengan memberi perhatian, berjuang dengan sungguh-sungguh dan belajar secara gigih agar dapat mengantarkan anak didiknya menjadi manusia-manusia terbaik sesuai apa yang ia yakini sebagai kualitas ideal manusia.
Tanpa obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para siswa menjadi manusia ideal, maka kegiatan mengajar hanya sekedar rutinitas saja. Begitu pula sekedar mampu merumuskan cita-cita secara tertulis, tapi tidak memiliki ikatan emosi dengan cita-cita tersebut, sulit baginya untuk meluangkan waktu bagi murid-muridnya sekaligus melapangkan telinga untuk mendengarkan penuturan murid dengan sepenuh jiwa. Mengajar hanya sekedar kegiatan fisik saja. Ia tidak membekas pada diri guru, tidak pula pada diri murid.
Jika materi yang mudah diingat saja tak membekas, apatah lagi dengan adab yang memerlukan kesabaran, dorongan, dukungan dan pendampingan dalam membentuknya. Maka, kunci sangat penting memulai ta’dib (proses pendidikan adab) adalah guru. Adakah para guru yang melakukan ta’dib memiliki kecintaan terhadap murid-muridnya? Adakah para guru amat mengingini bagusnya akhlak anak didik? Bukan agar mudah menangani mereka, tetapi karena mengingini keselamatan anak didik di Yaumil-Qiyamah. Tampaknya tipis perbedaannya, tetapi jauh sekali akibatnya. Merisaukan akhlak anak didik karena mengingini keselamatan mereka di akhirat mendorong kita lebih sabar menghadapi kesulitan. Sementara merisaukan akhlak hanya karena mengingini penanganan anak jadi lebih mudah, membuat kita mudah berpuas diri. Mencukupkan diri dengan yang tampak dan mudah abai terhadap apa yang kurang.
Berkenaan dengan keprihatinan yang amat dalam ini, teringatlah saya dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah, 9: 128).
Sangat mengingini keimanan dan keselamatan. Inilah perkara penting yang harus dimiliki oleh seorang guru yang benar-benar berkeinginan membangun adab pada diri murid-muridnya. Ia bersungguh-sungguh mendidik, memiliki belas-kasih lagi penyayang. Kecintaan itu memang ada di dalam hati. Begitu pula besarnya keinginan untuk membaguskan murid-murid. Tapi ia amat berpengaruh pada kata yang kita ucapkan, adakah ia menjadi perkataan yang membekas ataukah sekedar lewat saja.
Selebihnya, seorang guru perlu memperhatikan adab-adab mengajar. Semoga Allah Ta’ala mudahkan upaya membangun adab pada diri murid.
Lalu, apa saja yang penting untuk diperhatikan:
Tulus Mengajar
Bekal penting yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah ketulusan mengajar. Tidak berharga suatu amal tanpa keikhlasan. Boleh jadi seorang guru memang bekerja pada sebuah lembaga pendidikan. Tetapi di atas itu semua, ia adalah orang yang sangat berpengaruh dalam menempa jiwa anak didik. Maka lebih dari sekedar tugas mengajar, ia harus memiliki ketulusan yang amat dalam sehingga ringan hatinya menyambut kehadiran dan keingintahuan anak didiknya.
Sama pentingnya dengan ketulusan adalah bagusnya penyambutan terhadap anak didik sehingga mereka merasa dicintai oleh gurunya atau pengasuhnya di asrama. Inilah yang akan melahirkan rasa hormat pada diri anak didik terhadap guru. Ini pula yang menjadikan anak didik lebih mudah menerima nasehat dan ilmu dari guru.
Tentang menyambut penuntut ilmu, teringatlah saya pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani dari Shafwan bin ‘Asal Al-Muradi. Ia berkata: Saya mendatangi Rasulullah saw. dan beliau di masjid bersandar dengan memakai burdah merah. Saya berkata kepada beliau, “Ya Rasul Allah, saya datang untuk menuntut ilmu.”
Beliau bersabda, “Selamat datang penuntut ilmu! Sesungguhnya penuntut ilmu dinaungi oleh para malaikat dengan sayapnya, kemudian mereka saling menumpuk hingga langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang dia pelajari.” (HR. Ath-Thabrani).
Terdapat sejumlah hadis lain yang menunjukkan penyambutan Rasulullah saw. yang sangat hangat kepada para penuntut ilmu, terkecuali terhadap wanita. Ini tampak dalam hadis lain tentang kedatangan Ummu Hani untuk belajar.
Ketulusan mengajar itu juga ditampakkan dengan sikap saat bicara, ditampakkan juga saat mendengar murid berbicara. Bukankah kita ingat bagaimana Rasulullah saw. mencondongkan badan ketika mendengarkan lawan bicara?
Banyak hal yang masih perlu kita diskusikan tentang ketulusan mengajar dan bentuk-bentuk perilakunya. Tapi amat sempit ruang yang tersedia saat ini. Semoga kita dapat membahasnya secara lebih tuntas pada kesempatan lain.
Tawadhu’
Salah satu kunci sukses seorang murid adalah hormat kepada guru. Dan rasa hormat kepada guru ini akan tertancam lebih kuat dalam diri murid jika ia memiliki seorang guru yang tawadhu’, guru yang rendah hati. Bukan rendah diri. Bukan pula yang gila hormat dan selalu ingin didengar. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan murid memang kesediaan dan kesungguhan mendengarkan ucapan gurunya. Tetapi pada saat yang sama, guru juga perlu menjadikan dirinya sebagai sosok yang pantas untuk senantiasa didengar dan dipatuhi oleh muridnya.
Mari kita ingat sejenak perkataan Anas bin Malik tentang pribadi Rasulullah saw. Ia berkata, “Tidak ada orang yang paling dicintai oleh para sahabat melebihi Rasulullah saw.. Walau begitu, ketika melihat Rasulullah saw. mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah saw. tidak menyukai hal itu.” (HR. Bukhari, Ahmad, At-Tirmidzi & Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi).
Hadis ini memberi pelajaran kepada kita tentang sosok guru paling sempurna, Rasulullah saw.. Kecintaan para muridnya –para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in– tak diragukan lagi. Tetapi kecintaan yang besar itu tidak menyebabkan mereka berdiri menghormat. Ini merupakan salah satu saja dari sekian banyak pertanda tentang kerendah-hatian beliau saw. sehingga justru menjadikan beliau saw. makin dicintai.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang suka untuk disambut dengan cara berdiri, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR. Abu Dawud).
Sikap rendah hati justru menjadikan guru memiliki kedudukan yang tinggi di hati murid-muridnya.
Mengenali Murid
Hal lain yang perlu dimiliki guru adalah kesediaan dan keinginan untuk mengenali pribadi muridnya dengan baik. Bukan hanya tahu nama dan wajah. Jangankan berbicara dalam konteks pendidikan adab, lebih khusus lagi pendidikan Islam, bicara pendidikan secara umum pun pengenalan yang baik terhadap murid memegang peranan penting. Banyak masalah yang berkembang di kelas maupun asrama karena guru tidak memiliki pengenalan yang baik terhadap murid, sehingga tidak mampu membaca apa yang sedang menjadi keresahan muridnya. Kadang guru bahkan seperti tak peduli dengan keadaan murid.
Pengenalan yang baik terhadap murid memudahkan guru bertindak secara lebih tepat. Selain itu, juga meringankan hati mereka untuk lebih toleran terhadap murid.
Banyak hal yang masih perlu kita perbincangkan. Tapi agaknya kita masih harus bersabar. Do’akan saya dan nasehati, semoga mampu menulis secara lebih matang sekaligus lebih utuh tentang masalah ini pada waktu yang akan datang.
ditulis oleh Mohammad Fauzil Adhim
***Tulisan ini merupakan bagian keempat dari serial tulisan tentang ta'dib, dimuat di majalah Hidayatullah.